Kuda Bima

Kuda Bima


Sejak Abad XII Masehi, kuda asal Bima sudah tersohor di Nusantara. Saat itu, para pedagang dari berbagai penjuru datang membeli kuda bima, kemudian dijual di negeri asalnya untuk dijadikan tunggangan para raja, bangsawan, dan panglima perang.

Raja-raja dan panglima perang Kerajaan Kediri, Singosari, dan Majapahit, dalam buku Negarakertagama karangan Empu Prapanca, juga selalu memilih kuda bima untuk memperkuat armada kavalerinya.

Kepala Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bali dan Nusa Tenggara Barat (NTB) I Made Purna mengingatkan kenangan itu saat berbicara dalam seminar yang membahas secara khusus tentang kuda bima yang merupakan rangkaian Bulan Citra Budaya NTB XVII di Bima, Senin pekan lalu.

Salah satu keturunan Sultan Bima, Hj Siti Maryam R Salahudin (83), memperkuat kenangan lama itu. Menurut dia, di masa lampau, kuda bima juga berperan penting memperkuat angkatan perang Kerajaan Kesultanan Bima.

Para Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia pun sering meminta dikirimi kuda bima, yang dinilai sebagai jenis kuda terbaik di Kepulauan Hindia Belanda. Kuda bima dinilai sebagai sarana transportasi yang tangguh karena kuat membawa beban hasil panen, tahan cuaca panas, serta jinak.

”Layaknya sepeda motor sekarang, dulu jika suami-istri bepergian jauh, berboncengan menumpang kuda (jara kapa nae–kuda berpelana besar),” kenang Maryam.

Dalam Nota Penjelasan Perjanjian Politik antara Kerajaan Bima dan Gubernur Sulawesi, DP Van Braam Morris, tertanggal 20 Desember 1886, tercatat bahwa kuda bima pernah dikirim ke Sulawesi dan Jawa. Jumlahnya mencapai 1.000 sampai 1.500 ekor per tahun. Saat itu, harga kuda tertulis 40-50 poundsterling, sedangkan harga lokal di Bima saat itu 15-25 poundsterling per ekor.

Tercatat juga pernah ada seorang pangeran dari Madura yang memesan beberapa kuda kepada Sultan Abdul Kadim, Sultan Bima Ke-8 (abad ke-18). Ketika itu, Kesultanan Bima memiliki ranch, tempat pemeliharaan kuda di Desa Wera, Lambu, Kangga, Paile, Sangeang Darat, Sangeang Api, dan Poja.

Sedemikian akrabnya orang Bima dengan kuda, sampai kini pun banyak cerita soal kuda yang berkembang di masyarakat. Kuda bima bahkan juga sudah dijadikan simbol pantang menyerah, mau hidup prihatin, dan berjuang demi mencapai tujuan. Kuda bima juga jinak, tidak mau dikasari, dan akan tunduk jika diperlakukan secara lembut.


Lain sekarang

Kini, kuda bima di Kabupaten Bima, Pulau Sumbawa, NTB, kian terancam kelestariannya. Keberadaan kuda bima sudah terdesak oleh kuda jenis lain, seperti sandalwood dari Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur, yang banyak dipelihara dan dikembangkan sebagai kuda pacu.

”Tahun 2009 lalu, sedikitnya ada 20 ekor kuda sumba masuk ke Bima setiap sepuluh hari sekali, sedangkan upaya pelestarian kuda lokal bima belum terlihat nyata,” ujar Said Abdullah, penggemar kuda bima.

Kuda bima bentuk badannya pendek. Tinggi badan kuda bima usia 1 tahun-3 tahun rata-rata 110 sentimeter-113 cm, kuda usia 4 tahun-8 tahun setinggi 114 cm-117 cm, kuda dewasa (usia 10 tahun ke atas) adalah 119 cm-120 cm. Namun, kuda bima memiliki daya tahan tubuh yang baik dan langkah cepat.

Masuknya kuda sandalwood ke Bima itu tidak terbendung karena Kabupaten Bima bertetangga dengan Pulau Sumba sebagai tempat asal kuda sandalwood. Selain transportasi yang mudah, animo para pejabat dan kalangan berduit di Bima mencari kuda sandalwood sangat tinggi untuk dilombakan pada pacuan kuda yang menjadi tradisi masyarakat daerah itu.

”Jangan sampai kuda bima senasib dengan kuda poni yang kini sulit ditemukan di Sumbawa (meliputi Kabupaten Bima, Dompu, Sumbawa, dan Sumbawa Barat),” ujar Said Abdullah khawatir.

Menurut Said Abdullah, sesungguhnya penangkaran kuda bima sangat mungkin dikembangkan mengingat teknologi ataupun sumber daya manusia tersedia di NTB. ”Cuma pemerintah memiliki skala prioritas tidak?” katanya.

H Adnan Abdullah yang banyak melakukan kawin silang antara kuda bima (betina) dan sandalwood (jantan) dalam tiga tahun ini berpandangan, kawin silang justru akan melestarikan plasma nutfah kuda lokal, juga menghasilkan kuda keturunan yang tangguh, bertenaga, memiliki kecepatan lari (didapat dari induknya), serta fisik memadai (didapat dari pejantan) sebagai kuda pacu.

Sayangnya, pemerintah provinsi (pemprov) belum memiliki data lengkap soal kuda bima ataupun kuda dari luar yang masuk. Kepala Bidang Kesehatan Hewan Dinas Peternakan NTB Aminurrahim ketika ditanya soal ini hanya menunjukkan data populasi kuda secara menyeluruh di NTB.

Menurut dia, populasi kuda di NTB tahun 2009 berjumlah 77.847 ekor. Dari jumlah tersebut, 16.873 ekor berada di Pulau Lombok, sisanya 60.964 ekor di Pulau Sumbawa. Populasi kuda di NTB ini, menurut dia, masih menduduki 20 persen dari populasi kuda secara nasional yang berjumlah 398.000 ekor.

Soal kawin silang kuda bima dengan sandalwood, Aminurrahim membenarkan, sama sekali bukan halangan. Dengan sistem penangkaran yang baik, kuda bima merupakan sumber plasma nutfah, sebab tangguh sebagai hewan kerja, tahan cuaca panas, dan relatif jinak. Keunggulan kuda bima, betinanya terutama, apabila dikawinsilangkan dengan pejantan sandalwood (Sumba, NTT, tinggi 127 cm) dan thoroughbred (dari Inggris, tinggi 176 cm-178 cm), yang postur tubuhnya lebih besar dan kekar, bisa menghasilkan kuda pacu yang andal.

”Teknologinya kita sudah punya, sumber daya manusia kita juga tersedia, hanya tinggal soal waktu untuk mewujudkannya. Pemprov NTB kini, sesuai skala prioritas, menggarap perbanyakan sapi bali lewat program ’Bumi Sejuta Sapi’. NTB menjadi sumber plasma nutfah sapi bali,” paparnya.

Lalu Gita Aryadi, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata NTB, berharap kuda bima bisa dijadikan ikon pembangunan pariwisata. Bima bersama kabupaten tetangganya (Kota Bima, Dompu, Sumbawa, dan Sumbawa Barat), di antaranya diangkat lewat lomba pacuan kuda (pacoa jara), seperti kebiasaan masyarakat etnis Mbojo (Bima dan Dompu) selama ini. ”Ingat kuda ingat Bima, ingat Bima ingat kuda,” begitu ujarnya.

Mudah-mudahan kekhawatiran kuda bima yang terancam punah tidak segera terjadi. Kalau itu terjadi, kuda bima hanya bisa diingat, tidak lagi bisa dilihat.


Kuda Bima dalam Legenda

Kuda Bima adalah sebuah legenda yang terkait dengan tokoh pewayangan dalam cerita Mahabharata, yaitu Bima. Dalam cerita epik Mahabharata, Bima adalah salah satu dari lima Pandawa, yakni saudara-saudara Pandu yang merupakan pahlawan besar dalam cerita tersebut.

Dalam cerita Mahabharata, Bima memiliki kuda yang sangat terkenal dan kuat yang dikenal sebagai "Kuda Bima" atau "Kuda Witana". Kuda Bima digambarkan sebagai kuda yang perkasa, gagah, dan memiliki kekuatan yang luar biasa. Kuda ini dipercaya memiliki kemampuan supernatural dan merupakan kuda pilihan Bima dalam pertempuran.

Legenda Kuda Bima tidak hanya terbatas pada cerita Mahabharata, tetapi juga menjadi bagian dari budaya dan tradisi Indonesia. Kuda Bima sering kali digambarkan dalam seni pertunjukan tradisional seperti wayang kulit, tari-tarian, dan seni rupa. Masyarakat Indonesia menghargai kisah-kisah pewayangan, termasuk legenda Kuda Bima, sebagai warisan budaya yang berharga.

Perlu dicatat bahwa Kuda Bima lebih merupakan tokoh dalam mitologi dan cerita epik, bukan sebuah ras kuda yang ada secara nyata. Legenda Kuda Bima mencerminkan kekayaan budaya dan kearifan lokal yang terus dijaga dan dilestarikan dalam tradisi seni dan cerita rakyat di Indonesia.

Kuda Bima dari Kabupaten Bima, Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, pernah terkenal pada masa lalu. Kuda-kuda tersebut memiliki reputasi yang kuat dan dicari oleh para pedagang dari berbagai penjuru yang kemudian menjualnya ke negeri asal mereka.

Pada masa itu, kuda Bima sangat dihargai oleh para raja, bangsawan, dan panglima perang. Mereka memilih kuda Bima untuk memperkuat armada kavaleri mereka. Dalam buku Negarakertagama karangan Empu Prapanca, kuda Bima juga disebutkan sebagai pilihan yang sering dipilih oleh raja-raja dan panglima perang dari Kerajaan Kediri, Singosari, dan Majapahit.

Namun, seiring berjalannya waktu, keberadaan kuda Bima kini terancam dan terdesak oleh kuda jenis lain seperti sandalwood dari Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur, yang lebih banyak dipelihara dan dikembangkan sebagai kuda pacu. Hal ini dapat mengancam kelestarian kuda Bima sebagai ras kuda yang unik.

Kelestarian kuda Bima menjadi penting untuk dilestarikan dan dijaga. Pemerintah dan komunitas terkait perlu melakukan upaya untuk mempertahankan dan mengembangkan populasi kuda Bima, termasuk melalui program pemuliaan dan pelestarian yang berkelanjutan. Dengan demikian, warisan budaya dan genetik dari kuda Bima dapat terus diperkaya dan dijaga untuk generasi mendatang.

Dalam konteks legenda dan cerita rakyat, kuda Bima memiliki tempat yang signifikan dalam sejarah budaya Indonesia. Meskipun cerita-cerita tersebut memiliki unsur mitologi dan legendaris, mereka juga mencerminkan aspek-aspek budaya dan sejarah masa lalu.

Legenda kuda Bima memberikan gambaran tentang pentingnya kuda tersebut dalam konteks sosial dan politik pada masa lalu. Kuda Bima dianggap sebagai kuda yang perkasa dan menjadi pilihan utama para raja, bangsawan, dan panglima perang dalam memperkuat kekuatan kavaleri mereka. Hal ini tercermin dalam berbagai karya sastra, seperti buku Negarakertagama karangan Empu Prapanca.

Meskipun terdapat aspek legendaris dalam cerita tersebut, kuda Bima juga mengandung elemen sejarah yang dapat memberikan wawasan tentang praktik budaya, sistem perang, dan kehidupan sosial pada masa lalu. Oleh karena itu, kuda Bima dalam legenda dapat memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang konteks sejarah dan budaya Indonesia pada masa lalu.


Ciri-ciri Kuda Bima

Ciri-ciri kuda Bima, seperti yang terdapat dalam legenda dan deskripsi historisnya, dapat bervariasi tergantung pada sumber yang dikonsultasikan. Namun, berikut adalah beberapa ciri umum yang dikaitkan dengan kuda Bima:
  • Kekuatan dan keperkasaan: Kuda Bima dianggap sebagai kuda yang perkasa dan tangguh. Mereka sering digambarkan memiliki tubuh yang kuat, berotot, dan berdaya tahan tinggi.
  • Warna bulu: Kuda Bima sering dikaitkan dengan bulu yang berwarna hitam atau cokelat gelap. Namun, warna bulu bisa bervariasi antara individu yang satu dengan yang lain.
  • Keanggunan dan ketangkasan: Selain kekuatan fisik, kuda Bima juga dikaitkan dengan keanggunan dan ketangkasan dalam gerakan mereka. Mereka sering digambarkan sebagai kuda yang lincah dan gesit.
  • Tanduk atau tanduk palsu: Beberapa legenda mengisahkan bahwa kuda Bima memiliki tanduk atau tanduk palsu yang menonjol dari dahinya. Namun, ini mungkin merupakan unsur mitologi dan legendaris yang lebih menekankan kekuatan dan keperkasaan mereka.
  • Kepercayaan mistis: Dalam beberapa cerita, kuda Bima juga dikaitkan dengan elemen mistis atau magis. Mereka dianggap memiliki kekuatan gaib atau kemampuan khusus yang membantu pemiliknya dalam pertempuran atau petualangan.
Perlu diingat bahwa ciri-ciri ini didasarkan pada narasi dan interpretasi yang terdapat dalam legenda dan deskripsi historis. Karena kuda Bima sekarang menjadi langka, informasi yang lebih spesifik mengenai ciri-ciri fisiknya mungkin sulit ditemukan.


Perbedaan Unicorn Indonesia dan Barat

Perbedaan antara konsep unicorn dalam budaya Indonesia dan budaya Barat dapat mencakup beberapa aspek, termasuk ciri-ciri fisik dan makna simbolisnya. Berikut adalah beberapa perbedaan yang mungkin ada:
  • Ciri-ciri fisik: Dalam budaya Barat, unicorn sering digambarkan sebagai kuda bertanduk satu dengan bulu yang indah, seringkali berwarna putih dan memiliki ekor yang panjang. Mereka juga dikaitkan dengan keanggunan dan kelembutan. Sementara itu, dalam beberapa cerita legenda Indonesia, unicorn mungkin memiliki ciri-ciri yang berbeda, termasuk kemunculan tanduk atau tanduk palsu pada kuda tertentu seperti kuda Bima. Tanduk ini dapat dilihat sebagai simbol kekuatan dan keperkasaan.
  • Makna simbolis: Unicorn dalam budaya Barat sering kali dianggap sebagai makhluk magis yang melambangkan keanggunan, kepolosan, dan keajaiban. Mereka juga sering dikaitkan dengan konsep kemurnian dan kesucian. Di Indonesia, interpretasi simbolis unicorn atau kuda dengan tanduk dapat bervariasi tergantung pada cerita dan kepercayaan lokal. Mereka mungkin melambangkan kekuatan, perlindungan, atau elemen mistis dalam konteks budaya setempat.
  • Konteks budaya: Budaya Barat memiliki tradisi panjang dalam kisah-kisah tentang unicorn, termasuk karya sastra dan seni yang terkenal. Konsep unicorn dalam budaya Barat juga dikenal secara luas di banyak negara. Di Indonesia, legenda dan mitos unicorn mungkin lebih terkait dengan cerita-cerita lokal atau kepercayaan tradisional yang berbeda-beda di berbagai daerah.
Penting untuk diingat bahwa unicorn dalam kedua konteks tersebut, baik dalam budaya Barat maupun Indonesia, adalah makhluk legendaris yang tidak memiliki keberadaan fisik yang dapat dibuktikan secara ilmiah. Mereka memiliki makna simbolis dan terus menjadi bagian dari warisan budaya yang berharga di masing-masing budaya.



No comments:

Post a Comment

Horse (Equine) Art, Pencil on Paper Collection